SETELAH selesai berbuka puasa dan menunaikan salat berjamaah, pemimpin pergerakan kemerdekaan meminta kami berkumpul. Dan kini aku terkurung di satu ruang rahasia yang luas. Di antara para manusia dengan penutup wajah berwarna hitam. Sang pemimpin besar meminta agar para pejuang mengenakan penutup wajah. Ini dilakukan untuk menghindari sikap riya terhadap perjuangan yang kami lakukan.
Kami menyimak petuah sang Komandan. Dengan berapi-api, ia kobarkan semangat merebut kemerdekaan di hati para pejuang. Ia sampaikan kisah-kisah para Sahabat Nabi yang terus berjuang membela agama, sampai titik darah dan napas penghabisan. Takbir menggema. Sambung-menyambung. Bahkan dinding turut bergetar merasakan kekuatannya.
Di akhir pidato, sang Komandan meminta kami untuk membuka penutup wajah. Aku tercekat. Satu-persatu orang-orang di sekitarku mulai membuka penutup wajah. Beberapa saling berpelukan sambil menangis haru, melihat saudara atau tetangganya ternyata merupakan teman seperjuangan.
“Mengapa kau tidak membuka penutup wajahmu?” seorang lelaki muda di sebelah menegur. Aku meneguk ludah.
“Ti–tidak. Aku tidak suka jika wajahku dilihat orang. Kau kan tahu itu, Sahabat.” Lelaki muda itu menghela napas, lalu menepuk bahuku.
“Perang memang menyedihkan. Dia juga telah merampas mata kanan …, setelah isteri dan anakku yang masih bayi,” ucapnya dengan getir.
“Ya, aku tahu. Aku telah gagal menyelamatkan anakmu, dulu.” Rasa bersalah di dalam hati terbit kembali. Teringat dua tahun lalu aku gagal menangkap seorang bayi yang ia lemparkan dari lantai dua rumahnya, ketika penjajah merusuh di desa lelaki itu.
Awalnya ia ragu untuk memberikan bayi itu, tapi aku terus meyakinkan akan menangkap bayinya. Akhirnya, diiringi teriakan takbir, ia melemparkannya. Aku hampir meraih bayi dalam bungkusan selimut itu. Tapi aku tersungkur ketika seseorang menembak dari belakang. Tak berhasil kugapai bayi perempuannya ….
“Mengapa bicara begitu? Kau lah yang telah menyelamatkanku dari hujan mortir. Kalau bukan karenamu, aku pasti tidak akan berada di sini, Saudaraku.”
Ia memeluk dengan hangat sambil melanjutkan kalimatnya,”Putri cantikku sudah menjadi penghuni surga bersama ibunya. Mereka syahidah sejati, insya Allah.”
“Hei, kenapa kau belum membuka penutup wajah?”
Lelaki tinggi besar yang tadi mengawal di sebelah Komandan sudah berdiri di hadapan kami. Ia menudingku yang masih belum melepaskan penutup wajah. Membuat puluhan pasang mata menatap ke arahku.
“Wajahnya cacat,” bela lelaki di sebelahku.
“Penjajah laknat itu telah merusak wajahnya ketika ia tertangkap, dulu,” sambungnya sambil menepuk bahuku lagi dan menatap penuh simpati.
Seseorang menghampiri kami. Ruangan mendadak sunyi. Hanya terdengar bunyi tongkat pengganti kaki kanannya, yang beradu dengan lantai. Komandan tadi menatap dalam-dalam. Aku menundukkan wajah. Tak sanggup menantang mata si perindu syahid.
Kudengar ia menghela napas dalam-dalam.
“Karena itulah kita berada di sini. Agar anak keturunan kita tidak bernasib lebih buruk lagi. ” Aku menengadah. Kulihat seraut wajah teduh penuh keriput yang berhiaskan jenggot putih. Ah, Mujahid Tua, sungguh aku iri pada kaki dan telingamu yang telah sampai ke surga …
“Cepat, buka tutup wajahmu,” perintah si pengawal berkulit gelap. Aku memandang berkeliling, mencoba mengulur waktu. Tapi semua mata tertuju padaku, seakan menunggu.
Aku menghela napas. Sudah kutebak, suatu saat hal ini pasti terjadi. Aku sudah pasrah dengan keadaan ini. Dengan tangan gemetar kutarik penutup wajah.
Beberapa hari lalu sempat kudengar seorang pejuang yang enggan membuka identitas diri. Setelah dipaksa, akhirnya diketahui kalau ia adalah pemimpin besar yang selama ini hanya diketahui memerintahkan perjuangan rakyatnya dari belakang garis perang.
Ya, setelah mengatur siasat mengusir penjajah, pemimpin besar itu bahkan terjun berperang bersama rakyatnya….
Penutup wajahku perlahan terbuka. Puluhan pasang mata terkesiap demi melihat seraut wajah khas dari bangsa penjajah berdiri di hadapan mereka. []
Biodata Penulis:
Patrianur Patria, gadis periang dengan sejuta warna. Aktif menulis sejak tahun 2012. Beberapa cerpennya berhasil diabadikan melalui melalui beberapa buku antologi. Dapat dihubungi melalui fb dengan akun Patrianur Patria.