CINTA lama bersemi kembali? Ah! Terlalu dilebih-lebihkan. Sesuatu yang sudah mati tak mungkin hidup lagi. Hanya hati masih tak keruan, semenjak lelaki berparas Arab itu menyetop mobilku tadi siang. Paras yang sudah sekian lama kuanggap mati tenggelam di laut, tidak memiliki kubur untuk kutabur bunga. Kenapa tiba-tiba muncul kembali? Padahal aku telah memiliki lelaki yang di bawah kakinya terletak surgaku.
Kuabaikan kenangan terhadap lelaki berparas Arab, konsentrasikan diri untuk mengurus istana. Waktuku terlalu berharga untuk memikirkan lelaki masa lalu itu. Namun, dinding istana terlalu susah untuk dibenahi? Sudah dicat ulang dengan bahan terbaik, tapi jamur dan retaknya tak mau hilang jua.
***
Nomor tanpa nama masuk ke telepon genggam. Kombinasi angka familiar yang terhapal di luar kepala. Ada apa gerangan ia menelepon? Saat memberhentikan mobilku kemarin, bukan kahkami sudah saling bersalaman? Memaafkan kesalahpahaman masa lalu. Kuabaikan saja. Bukankah ia telah berlalu? Bisik hatiku.
Di luar terdengar deru mobil berhenti. Pasti lelaki yang di bawah kakinya letak surgaku. Tergesa berlari ke pintu untuk menyambutnya dengan senyum hangat. Bukannya menyapa, lelaki itu masuk dengan roman tanpa ekspresi.
Otot-otot wajahku seperti berkelahi sesamanya. Tetap bisu, diambilnya jus melon yang telah tersedia di atas meja makan. Aku berharap mendapatkan sebuah senyuman, ternyata diabaikan.
“Bang, ke dokter yuk,” ujarku setelah lelaki itu istirahat.
Hening tanpa jawaban.
“Kita sudah dua tahun menikah, tapi belum dapat momongan. Sudah saatnya kita periksa dokter,” sambungku lagi.
“Kamu saja,” jawabnya tanpa melihatku.
Hening, tak ada percakapan lagi di kamar itu.
***
Dalam sebuah pernikahan adakalanya cobaan datang bertubi. Menghantam dari berbagai arah. Dan fase paling berbahaya itu, ketika kenangan datang kembali. Menggoda dengan seribu kisah lama, memekarkan kuncup-kuncup di hati. Orang tua menasehati, bila jenuh datang, boleh sejenak menatap kiri-kanan, tapi tidak dengan cinta lama, karena akan memercikkan api yang membakar rumah tangga.
Lagi-lagi nomor yang sama masuk ke telepon genggamku. Ingin kuabaikan saja― mata melirik cermin― lebam di pipi masih terlihat jelas. Sebulir bening mengalir di sudut mata.
“Assalamualaikum!” tanpa pikir panjang kuangkat telpon genggam itu.
Terdengar jawaban suara bariton yang kukenal di seberang. Ia mengucap rindu yang selama ini terpendam.
“Kamu nangis, ya?” Sebuah pertanyaan lansung memvonis.
“Nggak!” kilahku.
“Kamu boleh bohong pada mereka, tapi tidak padaku!” lanjut suara di seberang.
Hiks! Hiks! Pertahanan ini jebol. Dan aku mulai bersenandung tentang perih yang kurasakan, mesti kutahu pasti itu tidak boleh.
***
Semenjak mengangkat telpon dari lelaki masa lalu, senyum ini mulai sedikit bewarna. Baik-baik Sayangnya Wali sering ia senandungkan untukku. Tak ada yang salah, bukan? Selama baktiku tetap untuk lelaki yang pada kakinya letak surga itu.
Bib! Bib! Sebuah SMS masuk.
“Kutunggu kamu di tempat kita dulu.” Sebuah SMS yang membuat tanganku bergetar saat membacanya. Kenapa musti bertemu? Jujur, aku memang teramat ingin melihatnya lagi. Menumpahkan air mata perih yang kurasa. Rindu, itulah yang kurasakan.
***
Sayup terdengar puja puji tari saman dari Sanggar Pintoe Aceh. Gerakannya semakin lama semakin cepat. Tidak salah jika aku menyebutnya sebagai bagian dari tarian sufi yang terkenal di Turki. Buktinya di Banda Aceh banyak ditemukan kuburan orang Turki tempo dulu.
Sore itu di Taman Putri Pahang memang sedang ada Festival Tarian Aceh. Aku dan si Paras Arab sedang berjalan menuju Pinto Khop, bangunan tua yang berbentuk gerbang berada di tengah kolam yang berada di taman. Sebuah jalan kecil menghubungkan bangunan tersebut. Kolam yang mengelilingi bangunan bercat kapur putih itu dialiri dari sungai buatan yang membelah taman. Konon katanya sungai digali di masa Sultan Iskandar Muda sebagai tempat pemandian permaisuri kesayangannya. Dua jembatan gantung menjadi penghubung jalan-jalan taman.
“Bang, aku membayangkan Putri Pahang mandi di kolam,” ujarku pada lelaki itu.
“Aih …, Bilang saja kamu ingin jadi tuan putrinya,” godanya yang membuat pipiku merona.
“Hmm …, keren kan, Bang? Sultan Iskandar Muda sampai membuatkan ini untuk wanita yang dicintainya,” aku melihat detil bangunan Pintoe Khop, walau sudah berusia sekian abad masih terlihat kokoh.
“Iya nanti Abang buatkan kolam untukmu juga,” ujarnya tersenyum.
“Haa! Janji ya?” tanyaku serius.
“Iya, Sayang. Kolam ukuran satu kali satu meter di kamar mandi.” Ia tertawa senang. Segera tanganku memukul bahunya.
Bib! Bib! Suara sms masuk menyadarkanku dari lamunan masa lalu. “Jangan lupa, Abang tunggu di Taman Putri Pahang minggu nanti.”
Aku kembali tercenung, apa yang selama ini sudah kulakukan? Aku bisa saja membenarkan diri dengan menyalahkan lelakiku yang tidak peduli―memberikan lebam di pipi atau badanku―tapi benarkah ini di hadapan Tuhan? Tidak! Aku tercekat. Tuhan ampuni khilafku, bukankah Engkau Maha Segalanya. Kuambil telpon genggam, kukeluarkan kartunya, kucampakkan ke waduk di belakang rumah. Kartu itu tenggelam. Bersama senandung lelaki berparas Arab itu. []
Tentang Penulis
Penulis lahir di Bireuen 25 Agusrus 1981. Sekarang bekerja sebagai Penyuluh Kesehatan Masyarakat di Puskesmas Aceh Timur.