MEMASUKI peron stasiun kereta api dengan hati bulat, aku harus pergi. Jam lima dini hari, stasiun masih lengang, hanya ada beberapa pedagang asongan di luar, mereka tak boleh memasuki peron. Kubeli sepotong roti dan air mineral di kios, untuk pengganjal perut yang belum terisi apapun sejak kemarin malam.
Sekali lagi aku menengok ke arah punggung, kuharap dia datang. Lelaki yang selama ini selalu menemani kemanapun pergi.
Wira …., Wirahadi. Nama itu, dia selalu ada ketika kubutuhkan. Namun kali ini sedikit berbeda, aku tak benar-benar menghendaki kehadirannya walaupun sedikit berharap, hanya restunya yang kuiinginkan.
Perlahan kumasuki gerbong, masih berharap ada yang memanggil. Tak terasa bening di mata berdesakan, suara di dada pun berontak untuk tinggal. Itu tak bisa kupungkiri.
Kupilih tempat duduk sesuai nomer yang tertera di tiket, kebetulan penumpang kali ini tak banyak. Ada beberapa orang yang telah menduduki kursinya. Kupandang jendela KA, untuk memastikan kalau dia memang tak ada. Mataku mengarah ke pintu stasiun, dia tak muncul.
Tak lama KA bergerak makin lama makin cepat menuju stasiun berikutnya. Menuju kota baru yang menjanjikan masa depan lebih baik untukku.
“Aku cinta kamu, Wira …, tapi tak kugadaikan keinginanku. Aku rela melepasmu!” lirih aku berbisik, takut terdengar penumpang lain di depan dan sampingku.
Kuingat percakapan dengannya kemarin sore ketika dia menyambangiku.
“Ada apa datang lagi?” Sengit aku menemui Wira di teras rumah senja itu. Kuhenyakkan pantat pada kursi di depannya, bukan di sebelahnya seperti biasa.
“Katamu aku harus datang bukan?” dia menatapku, tapi aku pura-pura tak melihatnya.
“Aku mengambil cincin tiga lingkar itu,” serak suara Wira meneruskan kalimatnya.
“Aku masih memakainya, ini …, ambillah,” kuputar cincin emas pemberiannya pada enam purnama sebelumnya. Cincin pertunangan kita berdua.
“Aku tak membutuhkannya!” kata tajam kulepas, walaupun sebenarnya hatiku terluka.
Lelaki itu tak menghendaki aku sekolah, dia ingin wanita hanya mengelola rumah, anak-anak dan dirinya.
“Kasih …, wanita sholihah itu bertugas mendidik anaknya di rumah, mengelola rumah tangga dengan jiwa lembutnya, mengajar ngaji, menyiapkan makanan dan masih banyak lagi. Kamu pasti suka dan bisa.
Akulah yang bertugas mencari nafkah. Itu semua ada tuntunannya, Kasih.” Itu dikatakannya berkali-kali, dan aku bergeming.
Tetap pada pendirianku, aku ingin kuliah, ingin kelak menjadi wanita karier. Bukan hanya di dapur, titik!
***
KA melaju cepat meninggalkan kotaku, meninggalkan kenangan yang mungkin akan sulit kulupakan.
Roti kugigit, pikiranku tetap hanya padanya. Wira ….
Beberapa menit setelah KA melata menyusuri relnya, kemudian terdengar suara berdentam, ledakan, gesekan dan rem berdenyit.
Tak sempat aku berfikir apalagi melihat yang terjadi. Gerbong terguling dan sesuatu menghempaskan tubuhku hingga terpelanting agak jauh dari tempat duduk. Kepalaku sakit dan cairan merah mengucur ke muka. Darah–
Aku tak mampu bergerak tertindih koper-koper, tergolek dengan luka di kepala dan kaki yang terjepit besi, entah itu apa.
Aku menunggu pertolongan …. Yang kuingat saat begini hanya Wira, kemana dia?
Sesaat kemudian kudengar riuh dan berhamburan orang masuk ke gerbong. Para sukarelawan!
Penumpang yang tumpang tindih, satu persatu disibakannya. Terdengar bunyi sirine di kejauhan menuju kemari. Aku makin lemah dan sakitpun entah rasanya.
Lalu … mataku yang meredup melihatnya, lelaki itu.
“Kasih …. Ya Allah …, aku menyusulmu ke stasiun tapi kereta telah berjalan,” kudengar suara itu, Wira memanggil dan mengguncang tubuhku.
“Aakuu—, Allah …“ kutatap matanya sejenak, dan … bibirku terkatup rapat, aku melemah.
“Innalillahi wa inaillaihi rojiun,” samar aku mendengar kalimat itu bergetar dari mulutnya, sesaat sebelum mataku tak mampu terbuka kembali.
Dan aku kini berhasil pergi darinya …. Masa depan itu, mimpiku telah menanti! []
________
Asih Wardhani, Lahir di Jember 01 April, Ibu dengan dua anak yang sudah menyelesaikan pendidikannya. Mengikuti grup kepenulisan pada Desember tahun 2013. Saat ini telah menjadi salah satu kontributor dan pemrakarsa sejumlah buku antologi cerpen, di mana salah satunya diterbitkan mayor.